Sunah Nabi terhadap Golongan Khawarij
Assalamu’alaikum wr. Wb.,
Mohon penjelasan apa yang dimaksud dengan golongan Khawarij
dan saat ini masih adakah golongan tersebut? Bagaimana sunah Nabi menghadapi golongan
tersebut? (Budi, Kediri, 082245190xxx).
Jawaban :
Saudara Budi yang berbahagia, perlu saya sampaikan terima kasih atas
pertanyaan Saudara mengenai sekte yang hingga saat ini menjadi pembicaraan
hangat di kalangan umat Islam sendiri. Karenanya, perlu disampaikan hal-hal
berikut, Pertama, mewakili cara pandang kesejarahan dapat dinyatakan
bahwa kelompok Khawarij didaku sebagai kelompok yang bertanggungjawab terhadap
pembunuhan khalifah Usman bin Affan. Atas peristiwa tersebut, terjadi
kekosongan kekuasaan di pusat pemerintahan kaum Muslim yakni Madinah. Kelompok
pembunuh Usman untuk selanjutnya disebut Khawarij menekan Ali bin Abi Thalib
menduduki khalifah di Ibu Kota kekuasaan Muslim waktu itu. Dan Ali bin Abi
Thalib akhirnya di baiat menjadi khalifah oleh pamannya sendiri, Abbas bin Abdul Muthalib dan diikuti kelompok
Muhajirin dan Anshor.
Namun di sisi lain, pengangkatan Ali bin Abi Thalib tidak mendapatkan
legitimasi yang kuat terhadap kekuasaannya. Muawiyah, Gubernur Syria, sekaligus
sepupu Usman bin Affan, tidak mengakui kepemimpinan Ali di Madinah. Muawiyah
hendak mempertanyakan siapa pembunuh Usman bin Affan dan menyelesaikan klausul
pembunuhan yang tidak jelas itu. Dalam posisi demikian, Khawarij muda merapat
ke pihak Ali sebagai bentuk pengalihan jati diri dan upaya pemertahanan entitas
mereka. Dengan demikian, Ali bin Abi Thalib mendapat tambahan pengikut yang di
kemudian hari menjadi penentangnya. Inilah
sketsa kelompok Khawarij yang semakin hari semakin menampakkan jati dirinya.
Situasi panas antara pihak Ali dan Muawiyah membentuk konstelasi politik
mengerucut menjadi permusuhan horizontal dalam bentuk peperangan. Namun tanda-tanda
kemenangan yang berpihak pada kelompok Ali tak menyurutkan pihak Muawiyah menyusun siasat
membendung laju kemenangan pihak Ali. Dan Amru bin ‘Ash, panglima tentara
Muawiyah berusaha menghentikan peperangan dengan mengajak damai pihak Ali
melalui aksi angkat al-Qur’an di pucuk tombaknya. Dan perdamaian itu dalam
sejarah Muslim disebut dengan tahkim. Tawaran damai pihak Muawiyah
membuat kelompok Ali terpecah menjadi dua bagian. Kelompok yang menerima
perdamaian sebagai jalan menyelesaikan masalah politik mereka yang kemudian disebut
Syi’ah. Dan kelompok yang tidak menerima perdamaian sebagai bentuk
penyelesaian masalah kekuasaan. Kelompok yang terakhir disebut dengan Khawarij,
artinya kelompok yang memisahkan diri dari pihak Ali bin Abi Thalib.
Kedua, mewakili cara pandang
aksi dan pemikiran Khawarij. Kelompok khawarij mengembangkan doktrin
ektrimitas dalam melakukan aksinya. Pemimpin Khawarij pertama, Abdullah bin
Wahab al-Rasyidi menyatakan bahwa kedua
belah pihak yang menerima tahkim dinyatakan sebagai kafir. Alasanya,
mereka tidak berhukum kepada hukum
Allah. Doktrin teologis ektrim ini ditingkatkan Nafi’ bin al-Azraq, penerus
Abdullah bin Wahhab al-Rasyidi pada
tingkatan lebih tinggi daripada kafir yakni musyrik. Dan alasan kemusyrikan
merupakan dalih pembenaran untuk menghukum seseorang dengan jalan memerangi.
Dalam perkembangan selanjutnya, orang yang tidak sepaham dengan Nafi’ bin Azraq
dipandang musyrik. Lagi-lagi karena alasan kemusyrikan itu, seseorang dapat
dibunuh.
Rekam jejak kelompok Khawarij menumbuhkan bibit
baru dalam sejarah peradaban Muslim hingga kini. ISIS (Islamic State of Iraq
and Syria) memiliki pola serupa dengan doktrin Khawarij. Karena itu,
beberapa kalangan menyatakan bahwa ISIS merupakan metamorfosis kelompok
Khawarij dan selanjutnya disebut neo-khawarij. Dalam tataran ini, doktrin
absolut dipadu dengan sadisme jelas bertentangan dengan ajaran Nabi yang
mengedepankan sikap toleransi dan penghormatan terhadap hak-hak kemanusiaan
mendasar. Wallahu a’lam bi al-shawab. Zayad Abd. Rahman, MHI dosen
Hukum Islam Jurusan Syariah STAIN Kediri dan Pengurus Cabang NU Kabupaten
Kediri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar