Selasa, 23 Agustus 2016

Dilanjutkan





Menuju Tempat Impian Hujan Emas

Pak Sur di kediamannya
Nyatanya, hujan batu di negeri sendiri masih lebih baik dari pada hujan emas di negeri orang. Namun apa daya hidup telah dipertaruhkan untuk merenda nasib di negeri orang. Salah satunya, Pak Sur. nama aslinya, Syamsuri telah hidup di kampung pandang dengan kegigihannya. Ia dan Istrinya telah dikarunia dua orang anak. Bertahun-tahun ia mengadu nasib dengan berbekal dokumen paspor perjalanan ke luar negeri yang mempunyai masa ijin tinggal sebulan. Dengan berbekal dokumen perjalanan biasa itu, ia harus bolak-balik pergi ke tanah kelahirannya di Bawean sekedar untuk memperbaruhi ijin tinggalnya. Dan keadaan ini berdampak pada kedua anak perempuannya. Kedua anaknya tak memiliki dokumen resmi sebagai penduduk Malaysia. Salah satu kebutuhan dasar hidupnya, nyaris tidak terpenuhi. Kedua putrinya tidak dapat menikmati hak pendidikannya. Namun, banyaknya keadaan anak WNI yang tinggal di Malaysia, tidak menjadikan pihak pemerintah lengah menyediakan fasilitas pendidikan di tengah situasi sulit itu. Dan Sekolah Indonesia Johor Bahru menjadi tumpuan anak-anak mereka.  
Di tengah terpaan dan guyuran hujan, kami melanjutkan pengamatan dan wawancara dengan responden yang memiliki masalah berbeda. Pak Abdullah, namanya. Ia seorang warga negara asli Malaysia. Namun beristri orang Indonesia dan berasal dari Kalimantan Barat. Kisah kasih mereka tak sebanding dengan manisnya impian hidup di negeri sendiri. Lantaran pernikahan mereka tak dicatatkan hingga memiliki dua buah hati. Sementara, istrinya tak dapat berbuat banyak mengubah status kewarganegaraannya. Ia masih sebagai warga negara Indonesia dengan dokumen paspor perjalanan yang memiliki ijin tinggal satu bulan. Lagi-lagi kedua anaknya tak mempunyai status kewarganegaraan yang jelas. Meski Abdullah menempuh berbagai cara untuk mengurus kewarganegarannya, namun hasilnya nihil.  Secercah kisah keberuntungan ia dapatkan ketika anaknya yang ketiga lahir setelah ia mengurus dan menyelesaikan prosedur pernikahannya yang terlambat didokumentasikan secara resmi. Dan anaknya yang ketiga telah resmi diakui sebagai warga negara Malaysia. Sementara tersisa problem akut bagi kedua anaknya yang tak kunjung mendapat pengesahan kewarganegaraan. 
Abdullah dan putrinya Aliya
Ujung-ujungnya, pernikahan yang telah diurusnya tidak berlaku surut menyelesaikan status kedua anaknya. Jadilah batu sandungan sebagai bagian keseharian hidup. Bagaimana nasib Aliya?. Masalah pelik ini berjumlah ratusan bahkan ribuan tersebar di seluruh penjuru Malaysia. Toh, nyatanya tidak ada kebijakan yang memihak pada mereka. Pemerintah Indonesia sedikit melegakan harapan anak seusia Aliya. Sekolah menjadi titik awal merenda nasib di negeri orang. dan tentu menggapai masa depan yang cemerlang. Aliya dan adiknya setiap pagi berangkat ke SIJB menyongsong harapan itu. Namun, esok kelak kapan ia dapat menjatuhkan pilihannya mewujudkan cita-cita indahnya sebagaimana manusia lainnya. Dan harapan itu, bertumpu pada sekumpulan manusia lain yakni negara. Mau kemana Aliya, Tanah airmu masih menantimu. Atau Malaysia menjadi pilihanmu mengabdi...?.