Senin, 02 Mei 2016

Kartini 2016, koreksi sejarah



Kartini : Relijiusitas Yang Terlupakan
Oleh : Zayad Abd. Rahman*

Sepanjang yang saya ketahui, tulisan-tulisan yang dimuat di beberapa media cetak menampilkan Kartini sebagai sosok pembaharu, khususnya perjuangan persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki. Dengan latar budaya Timur, pembaharuan yang dilakukan Kartini tampak menemukan signifikansinya. Dua tipikal budaya itu berada pada titik disparitas tertinggi - untuk tidak menyebut perbenturan - pada abad 20. Hal ini ditandai dengan kesadaran membongkar doktrin sosial-keagamaan yang  lusuh di Timur setelah upaya serupa dilakukan Barat. Al-hasil kolonialisasi yang dilakukan bangsa-bangsa Barat berhasil menyusupkan pencitraan dan membentuk sudut perbedaan tegas di antara keduanya. Barat mewakili komunitas kemajuan. Timur masih berjibaku dengan keterbelakangan. Dua perbedaan tersebut melaju dan menebar dalam benak manusia Timur hingga saat ini. Karenanya, penggambaran sosok Kartini tidak jauh dari citra yang diberikan oleh agen-agen perubahan Barat. Citra bahwa Kartini hasil dari representasi cita-cita dunia Barat.
Upaya yang dilakukan Kartini tersebut melatarbelakangi komunikasi sejarah yang tidak seimbang. Di satu pihak, upaya perjuangan persamaan hak itu didaku sebagai hasil jerih payah Kartini bergumul dengan arus pencerahan yang berasal dari Barat. Di pihak lain, ada ruang kosong yang secara sengaja tidak diisi dengan informasi sejarah intrapersonal Kartini dengan dunia nyatanya. Pada babak berikutnya, tidak tercitra sama sekali sosok Kartini selain informasi yang telah mengendap dalam benak masyarakat obyek pencitraan. Padahal ada data tidak tertulis menggambarkan sosok Kartini yang relijius. Relijiusitas Kartini melampaui kekuatan jamannya. Dan dalam beberapa tingkatan melebihi jargon pencerahan yang disusupkan dalam lakon kolonialisme. Penerimaan data tertulis dan terlacak telah mengaburkan dan menguburkan data tak tertulis sebagai bagian dari propaganda model empirisis. Senyatanya, kaum Timur memegangi budaya tidak tertulis sebagai bagian dari pertahanan tradisi. Pada tingkatan ini, terjadi usaha penaklukan faktawi dengan argumentasi tidak adanya data tertulis. Semua hal yang tidak tertulis dengan sendirinya tidak dapat diterima sebagai data. Hegemoni budaya tertulis mendesak mundur budaya tak tertulis ke pinggiran kontestasi peradaban. Karenanya, seluruh bangunan budaya tak tertulis luluhlantak dalam arena pergumulan masyarakat terjajah.     
Sama halnya dengan cerita nestapa Kartini. Budaya tertulis telah membutakan sejarah. Yang tertinggal hanya cerita. Cerita Kartini yang hanya melulu menyesali dunia nyatanya. Seakan budaya Jawa menjadi akar segala ketimpangan. Membelenggu perempuan, memasung dan memenjarakannya. Sementara, perjumpaan Kartini dengan Islam juga mengalami nasib yang sama. Sama-sama berada di dunia Timur. Sama-sama menanggung derita disingkirkan, direduksi, dikoreksi, diseleksi dan akhirnya dibekukan. Dalam keadaan demikian, para pemerhati masalah perempuan tidak segan-segan menempatkan Kartini pada deretan atas dan satu-satunya pelopor emansipasi. Dan tentu, dengan informasi yang telah tereduksi. Sebanyak tulisan-tulisan mengenai Kartini,  - untuk tidak menyebut semuanya - berbahan informasi dari jenis ini. Yakni informasi yang telah disesuaikan dengan cita-rasa Barat mulai reposisi perempuan, proporsi perempuan di parlemen, maupun argumentasi yang menempatkan Kartini sebagai tokoh pembaharu. 
Relijiusitas dan Kehidupan Nyata
Kuatnya pengaruh politik informasi kolonial menempatkan Kartini berlawanan dengan kisah hidupnya. Perjumpaannya dengan Islam tidak memberi banyak informasi bahwa Kartini merupakan sosok relijius. Adalah Kiyai Sholeh Darat yang didaku sebagai pintu pembuka kebekuan dan keterkungkungan Kartini mencerna kenyataan yang ada di sekelilingnya. Dan penyumbat air jernih nalar Kartini tidak lain kebijakan Pemerintah Hindia Belanda sendiri, yakni larangan mempelajari al-Quran bagi pemeluknya. Dan ketika jalan mengkaji al-Quran dapat ditemukan, terbukalah seluruh pintu pencerahan. Ia telah menemukan spirit hidupnya kembali setelah beberapa waktu terkubur dalam bayang-bayang kolonialisme yang menjeratnya. Terkuaklah tabir hitam nan gelap. Tersingkaplah cahaya terang dalam gulita. Kata-kata pinjaman dari al-Quran ini lantas diterjemahkan Armyn Pane menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan bahasa Belanda Door Duisternis Tot Lich. Dalam kenyataannya, kalimat tersebut didaku bersumber dari mitra korespondesinya, Ny. Abendanon, sebuah nama yang di kemudian hari mengaburkan peran dan jasa mentor Kartini, yakni Sholeh Darat.
Namun perjuangan tidak sampai di sini. Kartini harus berjuang meyakinkan pada publik kolonial bahwa pencerahan dan spirit Kitab Suci yang melahirkan keberaniannya. Keberanian untuk menggugat bahwa pencerahan itu tidak datang dari sistem kolonial. Namun berasal dari Wahyu Ilahi. Karena Tuhan tak mungkin membuat dunia ini gelap. Lantas diciptakan terang dengan matahari. Bukan dicerahkan dengan kolonialisme sebagaimana banyak dipahami masyarakat hari ini.
Tak banyak waktu ia menjelaskan ihwal kesimpangsiuran kebenaran sejarahnya. Sementara, hiruk-pikuk perjuangan menuju kemerdekaan telah nyata terdengar. Perhatian dan kekuatan kebangsaan diarahkan mendapatkan kebebasan. Bukan tidak mungkin identitas Kartini dimainkan oleh para penggagas konsep kebangsaan. Kaum nasionalis-sekuler jelas sangat berkepentingan untuk meredam gelora golongan nasionalis-Islam. Sosok Kartini yang relijius menjadi bahan baku utama melegitimasi model negara Islam. Konsep kebahagiaan dan kesejahteraan jelas tertera dalam pikiran-pikiran Kartini. Dan jika muara kebahagiaan itu bersumber dari Kitab Sucinya, tentu kekuatan menjadikan negara Islam semakin kuat. Karenanya, politik informasi menjadi instrumen strategis mereduksi sejarah Kartini menjadi sekedar cerita belaka. Kalau demikian adanya, perlukah buku putih Kartini? 
Penulis adalah pengajar di STAIN Kediri dan kandidat Doktor UIN Sunan Ampel Surabaya.