Hukum
Waris Islam
Saya seorang
pengusaha, punya anak dua dan saya hanya mempunyai saudara perempuan satu. Ia
seorang janda beranak empat. Anaknya masih sekolah semua. Ia sekarang menjadi
tulang punggung keluarga untuk membiayai keempat anaknya itu karena ditinggal
meninggal suaminya. Kemudian orang tua kami meninggal dunia. Pertanyaannya
masih relevankah hukum waris yang mengatakan bahwa perempuan itu mendapat
setengah dari bagian laki-laki jika diimpelementasikan pada konteks ini. Dan
bagaimana menyikapinya. (isnanelsam@gmail.com).
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jawaban :
Saudara Isnan yang
berbahagia. Nama Isnan saya ambil dari alamat email yang tercantum dalam
petikan nama pengirim. Mudah-mudahan tidak keliru. Ada dua permasalahan yang
terkandung dalam pertanyaan tersebut. Pertama, berkaitan dengan relevansi hukum
waris Islam mengenai bagian laki-laki dan perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Kedua,
berkaitan dengan sikap, saya mengerucutkan pada operasionalisasi atas konsep 2
: 1 dalam hukum waris Islam.
Hukum Islam termasuk
di dalamnya hukum waris Islam mempunyai dua metode pokok dalam menyikapi
permasalahan kehidupan manusia. Konsep universalitas menjadi bagian mendasar
diberlakukannya hukum Islam sebagai fungsi rahmat bagi semesta. Sementara
dalam kenyataannya beberapa segi kehidupan manusia mempunyai ciri-ciri yang
lebih mencerminkan kepada kejadian yang spesifik. Dua metode yang dimaksud adalah
metode ‘am (umum) dan khas (khusus). Dalam kaitannya dengan
bagian laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 sebagaimana tercantum dalam
al-Qur’an surat an-Nisa ayat 11 (li al-dzakari mitslu hadzdz al-untsayain)
merupakan ketentuan yang berlaku secara umum (‘am). Ketentuan tersebut
menjadi asal dari ketentuan waris yang harus dipatuhi tanpa mengubah
lafaz yang dinyatakan dalam al-Qur’an. Sebab jika ketentuan asal ini
disesuaikan dengan kasus yang berlawanan dengan bunyi kalimat al-Qur’an, maka
akan terjadi perubahan kalimat al-Quran dan dengan sendirinya telah mengubah
hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh, jika dalam suatu
masyarakat tanggungjawab mencari nafkah dibebankan pada perempuan, memberi
bagian yang sama antara laki-laki dan perempuan juga belum adil, maka konsep
keadilan lebih sesuai dengan pembagian 2 : 1 bagi perempuan atas laki-laki,
sehingga kalimat al-Quran akan berbunyi lil untsa mistlu hadzdz al-dzakarain.
Secara sosiologis,
beberapa masyarakat di belahan bumi ini memberi peran dan tanggungjawab
keluarga pada kaum laki-laki. Meski sebagian menunjukkan perkecualian. Dalam
hukum perdata Barat (Eropa) sebagaimana diresepsi dalam Bugerlijke Wetboek
(BW) dinyatakan bahwa istri harus
melakukan penundukan hukumnya secara suka-rela kepada hukum suaminya. Konsep
penundukan ini menunjukkan peran dan tanggungjawab laki-laki dalam keluarga.
Dengan demikian, meski ditemukan konsep peran dan tanggungjawab keluarga tidak
pada kaum laki-laki, namun secara umum ketentuan bagian laki-laki dan perempuan
berbanding 2 :1 tidak serta-merta berlawanan dengan konsep keadilan.
Selanjutnya, hukum
Islam tidak berhenti melihat problem kasuistik yang terjadi dalam masyarakat
sebagai bagian dari upaya menjangkau konsep universalitas. Pertanyaan semisal
relevankah perempuan mendapat bagian waris setengah dari bagian laki-laki,
sementara ia menjadi tulang-punggung
keluarga muncul dalam problem kasuistik itu. Metode khas (khusus)
bergerak secara aktif memberi jalan mencapai keadilan. Dalam kasus sebagaimana
dikemukakan oleh Saudara Isnan, bagian laki-laki dan perempuan diselesaikan
dengan cara kasuistik tanpa meninggalkan ketentuan umumnya. Ketentuan laki-laki
dan perempuan berbanding 2 : 1 tetap menjadi ketentuan umum yang harus
diberlakukan. Sementara, kasus tersebut ditinjau secara kasuistik pula. Hukum
Islam menyediakan piranti khusus dengan formulasi pembagian harta warisan
dengan jalan tashaluh. Konsep tashaluh memberi titik tekan bahwa
setelah harta warisan dibagi menurut ketentuan yang berlaku, para ahli waris
dapat berdamai dalam memberikan bagian yang sesuai kepada ahli waris lain.
Karenanya, hukum waris secara normatif dapat dijalankan. Sementara, keadilan
sebagai unsur universalitas dapat dicapai melalui tashaluh. Semoga
bermanfaat.Wallahu a’lam bi al-shawab.
Zayad Abd. Rahman,
MHI, dosen Syariah STAIN Kediri.