Kamis, 19 Februari 2015

SAP Ushul Fiqh 1



OUT LINE USHUL FIQH 1 PRODI EKONOMI SYARIAH
 

No.
Tanggal
Materi Perkuliahan
Penanggungjawab
1
18 Pebruari 2015
Introduction and Contract Learning

Dosen dan mahasiswa
2
25 Pebruari 2015
Pengertian Ushul Fiqh, ruang lingkup Ushul Fiqh, perbedaannya dengan Fiqh dan sejarah perkembangan ushul fiqh
Dosen dan mahasiswa
3
4 Maret 2015
Al-Quran sebagai Sumber Hukum Islam dan dalil-dalil tentang kehujjahan al-Quran sebagai sumber hukum Islam  
Dosen dan mahasiswa
4
11 Maret 2015
Al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dan dalil-dalil kehujjahan al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam.
Dosen dan mahasiswa
5
18 Maret 2015
Metode penggalian hukum Islam : Ijma”.
Dosen dan mahasiswa
6
25 Maret 2015
Qiyas
Dosen dan mahasiswa
7
1 April 2105
Istihsan
Dosen dan mahasiswa
8
6 – 10 April 2105
Ujian Tengah Semester (UTS)
Dosen
9
15 April 2015
Istishab
Dosen dan mahasiswa
10
22 April 2015
Urf
Dosen dan mahasiswa
11
29 April 2015
Masalihul Mursalah
Dosen dan mahasiswa
12
6 Mei 2015
Hakim dan persyaratannya
Dosen dan mahasiswa
13
13 Mei 2015
Mahkum Fih dan persyaratannya
Dosen dan mahasiswa
14
20 Mei 2015
Mahkum alaih dan permasalahannya
Dosen dan mahasiswa
15
1 – 6 Juni 2015
Ujian Akhir Semester (UAS)
Dosen

Sabtu, 14 Februari 2015

Jawaban Dialog Jumat Radar Kediri



Hukum Waris Islam

Saya seorang pengusaha, punya anak dua dan saya hanya mempunyai saudara perempuan satu. Ia seorang janda beranak empat. Anaknya masih sekolah semua. Ia sekarang menjadi tulang punggung keluarga untuk membiayai keempat anaknya itu karena ditinggal meninggal suaminya. Kemudian orang tua kami meninggal dunia. Pertanyaannya masih relevankah hukum waris yang mengatakan bahwa perempuan itu mendapat setengah dari bagian laki-laki jika diimpelementasikan pada konteks ini. Dan bagaimana menyikapinya. (isnanelsam@gmail.com). Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
 
Jawaban :
Saudara Isnan yang berbahagia. Nama Isnan saya ambil dari alamat email yang tercantum dalam petikan nama pengirim. Mudah-mudahan tidak keliru. Ada dua permasalahan yang terkandung dalam pertanyaan tersebut. Pertama, berkaitan dengan relevansi hukum waris Islam mengenai bagian laki-laki dan perempuan dengan perbandingan 2 : 1. Kedua, berkaitan dengan sikap, saya mengerucutkan pada operasionalisasi atas konsep 2 : 1 dalam hukum waris Islam.
Hukum Islam termasuk di dalamnya hukum waris Islam mempunyai dua metode pokok dalam menyikapi permasalahan kehidupan manusia. Konsep universalitas menjadi bagian mendasar diberlakukannya hukum Islam sebagai fungsi rahmat bagi semesta. Sementara dalam kenyataannya beberapa segi kehidupan manusia mempunyai ciri-ciri yang lebih mencerminkan kepada kejadian yang spesifik. Dua metode yang dimaksud adalah metode ‘am (umum) dan khas (khusus). Dalam kaitannya dengan bagian laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 11 (li al-dzakari mitslu hadzdz al-untsayain) merupakan ketentuan yang berlaku secara umum (‘am). Ketentuan tersebut menjadi asal dari ketentuan waris yang harus dipatuhi tanpa mengubah lafaz yang dinyatakan dalam al-Qur’an. Sebab jika ketentuan asal ini disesuaikan dengan kasus yang berlawanan dengan bunyi kalimat al-Qur’an, maka akan terjadi perubahan kalimat al-Quran dan dengan sendirinya telah mengubah hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh, jika dalam suatu masyarakat tanggungjawab mencari nafkah dibebankan pada perempuan, memberi bagian yang sama antara laki-laki dan perempuan juga belum adil, maka konsep keadilan lebih sesuai dengan pembagian 2 : 1 bagi perempuan atas laki-laki, sehingga kalimat al-Quran akan berbunyi lil untsa mistlu hadzdz al-dzakarain.
Secara sosiologis, beberapa masyarakat di belahan bumi ini memberi peran dan tanggungjawab keluarga pada kaum laki-laki. Meski sebagian menunjukkan perkecualian. Dalam hukum perdata Barat (Eropa) sebagaimana diresepsi dalam Bugerlijke Wetboek  (BW) dinyatakan bahwa istri harus melakukan penundukan hukumnya secara suka-rela kepada hukum suaminya. Konsep penundukan ini menunjukkan peran dan tanggungjawab laki-laki dalam keluarga. Dengan demikian, meski ditemukan konsep peran dan tanggungjawab keluarga tidak pada kaum laki-laki, namun secara umum ketentuan bagian laki-laki dan perempuan berbanding 2 :1 tidak serta-merta berlawanan dengan konsep keadilan.  
Selanjutnya, hukum Islam tidak berhenti melihat problem kasuistik yang terjadi dalam masyarakat sebagai bagian dari upaya menjangkau konsep universalitas. Pertanyaan semisal relevankah perempuan mendapat bagian waris setengah dari bagian laki-laki, sementara ia  menjadi tulang-punggung keluarga muncul dalam problem kasuistik itu. Metode khas (khusus) bergerak secara aktif memberi jalan mencapai keadilan. Dalam kasus sebagaimana dikemukakan oleh Saudara Isnan, bagian laki-laki dan perempuan diselesaikan dengan cara kasuistik tanpa meninggalkan ketentuan umumnya. Ketentuan laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 tetap menjadi ketentuan umum yang harus diberlakukan. Sementara, kasus tersebut ditinjau secara kasuistik pula. Hukum Islam menyediakan piranti khusus dengan formulasi pembagian harta warisan dengan jalan tashaluh. Konsep tashaluh memberi titik tekan bahwa setelah harta warisan dibagi menurut ketentuan yang berlaku, para ahli waris dapat berdamai dalam memberikan bagian yang sesuai kepada ahli waris lain. Karenanya, hukum waris secara normatif dapat dijalankan. Sementara, keadilan sebagai unsur universalitas dapat dicapai melalui tashaluh. Semoga bermanfaat.Wallahu a’lam bi al-shawab.
Zayad Abd. Rahman, MHI, dosen Syariah STAIN Kediri.