Senin, 13 Oktober 2014

Dialog Jumat Radar Kediri



Berjamaah dengan Orang yang Salat Sunah
Assalamu’alaikum Wr. Wb,
Saya ingin bertanya bagaimana hukumnya jika berjamaah dengan orang yang sedang salat sunah? Jika boleh, mohon dijelaskan dengan dalilnya. Terima kasih penjelasannya.
(Khoirul Tamamy, Ponpes Hidayatul  Mubtadien Tegal Arum, Pojok, Mojoroto)

Jawaban :
Saudara Khoirul Tamamy yang berbahagia. Ada tiga hal yang dapat disampaikan terkait dengan isi pertanyaan Saudara. Pertama berkaitan dengan hukum orang yang berjamaah dengan orang yang salat sunah sementara ia bertujuan melakukan salat fardu. Kedua, dalam posisi yang sama berjamaah dengan orang yang sama-sama melakukan  salat sunah. Ketiga lebih diasumsikan berjamaah dengan orang yang tidak diketahui apakah ia melakukan salat fardu atau sunah. Karena itu perlu dijelaskan hal-hal sebagai berikut. Pertama menurut pendapat ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa orang yang berjamaah dengan orang yang salat sunah sementara ia sendiri bertujuan melakukan salat fardu maka salatnya masuk dalam kategori sah. Dasar keabsahan tersebut disandarkan pada praktik Nabi ketika menjadi imam salat dalam peristiwa persengketaan Bani Sulaim sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Bakrah. Nabi membagi sahabatnya menjadi dua kelompok. Lantas Beliau salat berjamaah dengan kelompok pertama dalam melaksanakan salat Maghrib. Usai salat berjamaah tersebut, Nabi menjadi imam untuk kelompok yang kedua dengan bilangan rakaat genap. Dengan demikian, kelompok yang kedua menjadi makmum dalam salat sunah yang dikerjakan Nabi. Sementara mereka melaksanakan salat Maghrib dalam bilangan tiga rakaat.
Atas dasar praktik Nabi, ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa orang yang berjamaah dengan orang yang salat sunah adalah sah sementara mereka bertujuan salat fardu atau sebaliknya. Ataupun sama-sama dalam keadaan melaksanakan salat sunah. Perbedaan niat, derajat salat (salat ada’ - tepat waktu - dan qadla’ – tidak tepat waktu -), dan perbedaan rakaat salat dengan sendirinya tidak menggugurkan sahnya salat dengan syarat salat yang dilakukan dalam tata cara (nidzam) yang sama. Lain halnya jika tata cara salatnya berbeda semisal salat jenazah atau salat gerhana, maka salat dengan keadaan demikian tidak diperkenankan dilakukan. Karenanya, salat yang dilaksanakan dengan tata cara yang berbeda tersebut akan berakibat meninggalkan rukun salatnya dan tentu tidak sah. Dengan demikian permasalahan yang pertama dan kedua dapat diselesaikan dengan pendapat ulama’ Syafi’iyah ini.
Kedua, perlu disampaikan bahwa mereka yang tidak mengetahui niat salat orang yang menjadi imamnya baik fardu atau sunah untuk disesuaikan dengan niat salatnya, maka salat berjamaahnya  adalah sah. Karena perbedaan niat tersebut tidak menjadikan keburukan dalam pelaksanaan salat (la yadurru ikhtilafu niyatil imam wa al-makmum li ‘adami fahsyil mukhalafati fi hima). Dan sebagian dari pendapat tentang masalah ini (perbedaan niat) adalah makruh dengan tanpa menghilangkan keutamaan adanya salat tersebut. Untuk periksa dapat di lihat dalam Hasyiyah al-Bajuri juz I halaman 205. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Zayad Abd. Rahman, MHI, dosen Syariah STAIN Kediri.

Dialog Jumat Radar Kediri



Takjil Buka Puasa dari Dana Infak Jumat
Assalamualaikum Wr. Wb.
Di masjid kami setiap sore membagikan buka puasa yang uangnya diambilkan dari infak Jumat. Bolehkah hal tersebut dan sampai batas apa kebolehannya. Mengingat masjid kami, masjid wakaf. Terima kasih. (Data nasi 70 bungkus porsi separo dengan lauk sekadarnya (telur separo).
(Ibrahim, Kediri, 085735592xxx)
Jawaban :
Wa’alaikumussalam Wr. Wb. Sebelum menjawab pertanyaan Saudara Ibrahim, kami ucapkan terimakasih atas pertanyaan Saudara  dengan harapan  dialog ini dapat meningkatkan kualitas puasa kita bersama. Ada dua hal penting terkait dengan pertanyaan di atas. Pertama, definisi infak beserta penggunaan dana yang berasal dari infak. Kedua, kaitan dengan kewenangan masjid wakaf yang diberi amanah untuk mengelola dana infak.
Secara istilah, infak merupakan pemberian kepada manusia atau lembaga baik disertai dengan kesukarelaan ataupun tidak. Istilah ini lebih menunjukkan kepada arti pemberian belaka. Dengan demikian, penggunan istilah infak dapat mencakup istilah sadaqah dan zakat. Namun titik tekan dalam persoalan ini bukan kepada bentuk infak, tetapi lebih kepada penggunaan infak tersebut. Definisi terkait penggunaan infak dapat dilihat dari pendapat al-Jurjani dalam karyanya al-Ta’rifat. Beliau menyatakan bahwa infak merupakan penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan seseorang atau lembaga. Dengan demikian, infak bersifat konsumtif. Dari pernyataan tersebut infak dapat digunakan untuk kebutuhan perseorangan atau lembaga.
Dalam kenyataannya, infak mempunyai kemungkinan untuk diberikan kepada orang lain atau lembaga lain. Jelasnya, infak telah mengalir dalam tingkat kedua dalam derajat pemberian. Setelah diberikan kepada seseorang atau lembaga lantas diberikan kepada seseorang atau lembaga dalam derajat pemberian yang ketiga. Pola ini dalam ketentuan agama tidak diatur secara spesifik. Bahkan pemberian infak dapat terjadi jatuh ke tangan pemberi yang pertama dan praktik ini dinyatakan sebagai hal yang tidak dihubungkan ke dalam ketentuan syariat namun lebih dikaitkan dengan persoalan teologis. Artinya kekuasaan Tuhan yang menghendaki pemberian infak itu jatuh ke tangan pemberi yang pertama. Dalam persoalan ini, infak tersebut tetap dinyatakan sebagai pemberian yang tidak melanggar norma-norma kepatutan pemberian, kecuali kalau infak ditujukan untuk perbuatan yang melanggar norma-norma agama semisal mendukung kelompok pemadat, persekongkolan perjudian, menyuburkan prostitusi dan lain-lain. Dengan demikian, penggunaan uang infak untuk takjil tidak melanggar kepatutan pemberian.
Persoalan yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah penggunaan infak tersebut seyogyanya digunakan dalam koridor kesepakatan pengurus takmir masjid. Hal ini perlu dilakukan agar penggunaan dana infak senantiasa memenuhi kemaslahatan bagi kepentingan banyak pihak.
Sementara permasalahan kewenangan masjid wakaf  dalam mengelola penggunaan dana infak tersebut tidak berkaitan dengan pemberian takjil. Baik masjid wakaf maupun non-wakaf mempunyai kesamaan dalam mengelola dana infak secara akuntabel (amanah) dan transparan (maslahat). Wallahu a’lam bi al-shawab.
Zayad Abd. Rahman, MHI, dosen Syariah STAIN Kediri.

Dialog Jumat, 26 September 2014



Rambut Kena Kening ketika Bersujud
Assalamualaikum Wr. Wb.,
Saya ingin menanyakan adab salat saat bersujud keadaan rambut terkena kening. Bagaimana hukumnya, apakah tetap sah? Dan bagaimana ketika tangan menyibak rambut agar tidak menyentuh keningnya, bagaimana hukumnya?
(Dani, Badas, Bringin 082336350xxx)
Jawaban :
Saudara Dani yang berbahagia, ada baiknya kita menelaah cara pandang para ulama dalam melihat kasus serupa yang berhubungan dengan dua cabang permasalahan sekaligus yakni sahnya shalat orang yang keningnya terhalang rambut beserta keadaan tangan menahan rambut agar tidak menutup kening.
Pertama, persoalan rambut yang menutup kening dalam keadaan shalat dihubungkan dengan tujuh anggota badan yang menjadi ketentuan sujud secara sempurna. Sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dinyatakan bahwa Nabi SAW diperintahkan untuk bersujud dengan bertumpu pada ketujuh anggota badan yakni dahi beserta hidung (sebagai satu anggota), dua telapak tangan, dua lutut dan dua ujung kaki. Dalam kenyataannya seseorang yang bersujud tidak dapat memaksakan seluruh dahinya melekat dengan tempat sujud. Dengan demikian keadaan ini, terdapat bagian dahi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dinyatakan oleh Sabda Nabi tersebut. Sementara dalam persoalan yang berhubungan dengan adanya rambut yang menutup kening dapat dijelaskan sebagai berikut. Ketentuan melekatkan dahi ke tempat sujud yang terhalang oleh rambut tidak membatalkan shalat atas tuntutan keadaan yang serupa tidak dapat dipenuhinya kesempurnaan dahi melekat ke tempat sujud. Sebaliknya jika dahi tertutup secara keseluruhan oleh terjulurnya rambut kepala berakibat membatalkan shalat atas tuntutan melekatnya dahi pada tempat sujud. Karenanya, tuntutan melekatnya dahi pada tempat sujud tidak terpenuhi. Di sisi lain, melekatnya dahi ke tempat sujud tidak secara keseluruhan telah menjadikan ketentuan sujud terpenuhi. Juga ditegaskan bahwa melekatnya hidung ke tempat sujud tidak dinyatakan sebagai keharusan dan bagian dari dahi. Namun cukup dengan hukum sunah saja.
Kedua, dalam permasalahan dahi tertutup sebagian oleh rambut kepala, seseorang yang shalat tidak perlu menahan rambutnya dengan alasan bahwa tertutupnya sebagaian dahi oleh rambut tidak membatalkan shalat. Sementara dahi yang tertutup secara menyeluruh oleh rambut dinyatakan batal shalatnya dengan alasan tidak terpenuhinya ketentuan sujud. Akan lebih baik bagi kesempurnaan sujud dalam shalat bila kita telah mempersiapkan shalat dengan memakai peci, kopyah atau sejenis bagi mereka yang mempunyai rambut panjang. Dengan demikian, tidak ada kendala dalam melaksanakan shalat secara sempurna.Wallahu a’lam bi al-shawab.
Zayad Abd. Rahman, MHI, dosen Syariah STAIN Kediri.

KHUTBAH JUMAT, 10 OKTOBER 2014



الحمد لله الذي رفع من أراد به خيرا بالعلم والإيمان، وخذل المعرضين عن الهدى وعرضهم لكل هلاك وهوان. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، الكريم المنان، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الذي كمل الله له الفضائل والحسن والإحسان، اللهم صل وسلم على محمد وعلى آله وأصحابه والتابعين لهم مدى الزمان. أما بعد، فياأيها المسلمون أوصيكم وإياي بتقوى الله عز وجل والتَّمَسُّكِ بهذا الدِّين تَمَسُّكًا قَوِيًّا. فقال الله تعالى في كتابه الكريم، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون.
Para rawuh sidang jumat ingkang berbahagia
Mangga kita tansah ningkatan pengabdian kita dumateng Allah subhanahu wataala sarana taqwa ingkang sak leres-leresipun. Inggih punika nglampahi perintah lan nebihi laranganipun kanti ilmu ingkang dipun warisaken para Nabi dumateng para ulama kanthi dasaring iman dumateng Allah SWT.
Para rawuh ingkang minulya…..
Allah ta’ala sampun paring dawuh dateng al-Qur’an ingdalem surat al-Hajj ayat 37.
Artosipun :
“Ora bakal tumeko daging lan rahing unta marang Allah lan tetapine ketakwaan saking sira kabeh kang tumeka marang Allah. Kaya mengkono iku Allah nundukaken unta kanggo sira kabeh supaya sira ngegungake marang Allah ingatase perkara kang deng pituduhake marang sira kabeh. Lan paringana kabar bungah marang-marang wong kang agawe kebagusan”.

Kaum Jahiliyah ingdalem sakwusana jaman kuna sampun sregep anggenipun ngramut Ka’bah. Ananging ingdalem wilayah ketauhidan tansah kathah nglampahi keyakinan ingkang luput. Salah setunggaling cara ngleksanaaken sesembahan dumateng pengeranipun kanti nglumasi Ka’bah mawi getih lan dagingipun hewan Unta ingkang sampun dipun sembelih. Menika ingkang sampun kalampah mataun-taun kanti keyakinan mbok bilih pengeranipun nampi sesembahanipun. Lajeng kaum Muslimin ingdalem ngleksanaaken ibadah kurban saweg niru dumateng cara lan perilakunipun kaum Jahiliyah menika sahingga ayat punika tumurun kanti tujuan ngleresaken keyakinan ingkang luput. Awit pengeran ingkang Maha Sugih lan tebih saking sifat cacat lan kirang saestu mboten mbetahaken rupa barang wadag lan kasat mripat menika. Kanti syariat kurban menika, nglumasi Ka’bah mawi daging lan getih sampun dipun lereni kanti wontenipun ibadah kurban ingdalem wekdal Riyaya Kurban.
Para rawuh ingkang minulya…..
Mbok bilih mangertosi wontenipun dawuh saking Allah kalawau, ingkang dados punjeripun makna kurban mboten manggen dateng wujudipun kurban ingkang sarwo wadag lan kasat mripat. Ananging dateng ketakwaan kula panjenengan sedaya. Menika nuduhaken mbok bilih kurban kedah dipun mangertosi gandeng kanti ketakwaan. Mbok bilih tiyang kurban mboten dipun sarengi mawi sifat ketakwaan, kamangka kurban menika mboten nuju dateng tujuanipun. Awit Allah ta’ala mboten nampi kurbanipun ananging wujud ketakwaan ingkang bakal tumuju dateng Allah SWT. Kurban namun dados sarana nuju dateng keridaanipun kang Maha Kuwaos kala wau. Sami kaliyan sifat manut ingkang dipun cawisaken Nabi Ibrahim ingkang sarwa mituhu dumateng perintahipun Allah mawi ngurbanakan putra kinasihipun, Ismail a.s. Mbok bilih mekaten sifat ketakwaan saged dipun mangertosi saking sifat manut lan tebih duraka dumateng pengeran ingdalem perwatekan ingkang pribadi.
Para rawuh ingkang minulya…..
Lajeng pripun surasanipun ketakwaan ingkang manggen dateng ruang lingkup sosial kemasyarakatan. Ingdalem kaitanipun kaliyan ibadah kurban, segi kemasyarakatan dados punjeripun sifat ketakwaan ingkang langkung gati lan gumati. Sak sampunipun piyantun muslim kurban mawi dipun leksanaaken piyambak utawi dipun pasrahaken dumateng tiyang lintu ingdalem tata cara lan penyerahanipun daging kurban dateng kaum ingkang berhak mangka kedah dipun paringaken kanti nocoki sifat keadilan. Allah taa’la sampun paring dawuh ingdalem sifat adil ingkang bakal nuju dateng ketakwaan kala wau.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artosipun :
Hai wong-wong kang pada iman, dadio sira kabeh wong kang ngedeake kebenaran kerana Allah lan dadi saksi kang Adil. Lan aja getinge sira marang siji kaum dadiake sira ora adil. Adila sira kabeh utawi adil iku luwih parek marang ketakwaan. Lan wdia marang Allah setuhune Allah iku maha ngudaweni marang apa kang sira agawe”.
Ayat menika nuduhaken mbok bilih sifat ingkang adil dados salah setunggaling piranti pinuju dateng ketakwaan sami kaliyan ingkang dipun tuntut ingdalem ibadah kurban. Ing wusana kurban kedah dados sarana menuju ketakwaan kedah dipun uba rampi kaliyan pembagian ingkang adil. Sifat adil saking ayat menika anggadahi makna mbok bilih adil dipun jejekaken kaliyan ngempet saking sifat berat sebelah, gunjing, ngrumiyenaken kepentingan pribadi utawi golonganipun. Awit fenomena ingkang wonten dateng kejadian-kejadian pembagian daging kurban nuduhaken sifat berat sebelah menika. Piyantun-piyantun ingkang wonten dateng sekitaripun elit penyembelihan kurban tansah pikantuk fasilitas lan peparingan ingkang berlebihan tanpa merhatosaken dumateng tiyang ingkang langkung berhak. Penyebaran daging ingkang mboten merata dadosaken ibadah kurban dipun ubengi kaliyan sifat ingkang mboten adil. Langkung-langkung nuju dateng ketakwaan. Sak wangsulipun ibadah kurban dadosaken peristiwa ingkang ngundang keprihatinan dumateng bagian masyarakat ingkang langkung berhak. Lajeng kesah-kesuhipun masyarakat dados ukuran milang ibadah menika mboten saged nuju dateng sasaranipun. Fenomena menika dados peristiwa ingkang merata ing kiwa-tengen kula penjenegan sami. Langkung-langkung wonten tiyang ingkang tansah merdi-merdi anggenipun saged ngleksanaaken kurban kanti rerakitan nyuwun dumateng kelompok lintu supados kurban dateng piyambakipun mawi kathah cara.
Al-hasil ibadah kurban menika dados ibadah ingkang dipun leksanaaken kanti ngendap-ngendap lan samar-samar ingdalem pranata ingkang kedah dipun leksanaaken kanti cara ingkang transparan lan terbuka. Sahingga mboten anggadahi labet dateng asas pemerataan lan mbela dateng kepentinganipun tiyang ingkang tuna.
Para rawuh ingkang minulya…..
Ibadah kurban ingkang sampun dipun cawisaken menika angadahi tujuan nggiaraken sifat keagunganipun Allah SWT. Kanti ucapan لتكبروا الله على ما هداكم وبشر المحسنين supaya sira kabeh ngegungake marang Allah kang paring pituduh marang sira. Sak sampunipun Allah ta’ala paring pituduh kurban dumateng kita sedaya, mangka sampun dados kewajiban kula sedaya maos kalimah talbiyah ingkang ngestuaken dawuh kala wau. Ananging mbok bilik kula panjenengan sedaya ibadah kurban kanti cara ingkang nebihaken dateng tujuanipun, persasat ibadah kita nyedaki dateng bendunipun Allah ta’ala lan nebihi dateng sifat welasipun.
Kanti menika, mangga kita tansah ngudaweni dateng ibadah kurban kula panjenengan sami kanti harapan dipun trimahipun kurban kita kalebet tiyang ingkang dipun paringi kabar bebungah kanti rida lan panggenan suwarganipun Allah SWT.
بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم ونفعنى واياكم بما فيه من الايات والذكر الحكيم وتقبل الله منى ومنكم تلاوته انه هو السميع العليم************.
الحَمْدُ ِللهِ الَّذِى تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لا إِلهَ إِلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا المُؤْمِنُوْنَ اتَّقُوْا اللهَ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ
قال الله تعالى : إِذَا جَآءَ نَصْرُ اللهِ وَالفَتْحُ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِى دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا فَسَبِّحْ ِبحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا..........................................................................
إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَااَّلذِيْنَ آمَنُوْ ا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وعلى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ َجِيْدٌ.
اللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ الأحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَقَاضِيْ الحَاجَاتِ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ، اللّهُمَّ لا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لايَخَافُكَ وَلا يَرْحَمُنَا، اللّهُمَّ انْصُرِ المُجَاهِدِيْنَ الَّذِيْنَ يُجَاهِدُوْنَ فِي سَبِيْلِكَ فِي كُلِّ زَمَانٍ وَمَكَانٍ، اللّهُمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ دِيْنَكَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ دِيْنَكَ، اللّهُمَّ أَعِزَّ الإسْلامَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَأَذِّلَّ الشِّرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَانْصُرْ عِبَادَكَ المُؤْمِنِيْنَ، رَبَّنَا لاتُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّاب رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَاب النَّاَر.........................................................................
عِبَادَ اللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالعَدْلِ وَالإ حْسَانِ وَاِيْتَآءِ ذِيْ القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالمُنْكَرِ وَالبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوْا اللهَ العَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكَمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اكْبرَ.